Potret Anak Jalanan

potret anak jalanan... kapan aq bisa sekolah dan mendapatkan pendidikan,,, kapan aku bisa terbebas dari belenggu kebodohan ini...??

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 27 Juni 2011

Cara Kreatif dan Peran Mahasiswa dalam Memberantas Buta Aksara.

CARA KREATIF DAN PERAN MAHASISWA DALAM MEMBERANTAS BUTA AKSARA
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Bahasa dan Sastra Indonesia
Dosen Pengampu: Beniati Lestyarini



DISUSUN OLEH:
ISTIHANI
10102244029


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2011



  1. Judul Penelitian
Penelitian ini berjudul Cara Kreatif  dan Peran Mahasiswa dalam Memberantas Buta Aksara.
  1. Latar Belakang
Buta huruf dalam arti buta bahasa Indonesia, buta pengetahuan dasar yang dapat menunjang kehidupan sehari-hari, buta aksara dan angka, buta akan informasi kemajuan teknologi, merupakan beban berat untuk mengembangkan sumberdaya manusia yang berkualitas dalam arti mampu menggali dan memanfaatkan peluang yang ada di lingkungannya (Umberto Sihombing, 2001)
            Tentang pengertian buta huruf menurut Umberto Sihombing (2001) adalah merupakan kelompok masyarakat yang tidak mungkin mendapatkan pelayanan pendidikan sekolah karena sebagian besar mereka telah berusia lanjut, sedangkan usia sekolah pada umumnya sudah masuk jalur persekolahan, mereka pada umumnya berasal dari keluarga miskin yang tidak mampu memikul biaya pendidikan yang diperlukan.
            Menurut Mukhamat Muhsin (2006), pemberantasan buta aksara (PAB) merupakan salah satu program pendidikan pada jalur nonformal yang saat ini sedang dilaksanakan menjadi bagian integral dari upaya pemerintah untuk mengentaskan masyarakat dari kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan dan ketidakberdayaan. Program ini bertujuan agar penyandang buta aksara memperoleh keterampilan dasar untuk baca, tulis, hitung serta mampu berbahasa Indonesia, memperoleh keterampilan- keterampilan fungsional yang bermakna bagi kehidupannya.
            Metode pendekatan belajar keaksaraan  menurut Mokhamat Muhsin (2006), konon dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa karakter atau orientasi belajar orang dewasa lebih bersifat praktis dan fungsional serta sesuai dengan potensi dan kebutuhan belajar mereka. Oleh karena itu, penyelenggaraan program keaksaraan fungsional tidak semata-mata memberikan kemampuan baca, tulis, hitung serta kemampuan berbahasa Indonesia dan berpengetahuan dasar  akan tetapi lebih jauh memberikan keterampilan-keterampilan fungsional yang bermakna bagi kehidupan warga belajar sehari-hari sehingga mereka mampu meningkatkan kehidupannya.
            Masih banyaknya buta huruf ini antara lain disebabkan adanya pertambahan penduduk buta huruf  baru yang belum dicacah sebelumnya, adanya penduduk yang putus belajar sekolah dasar menjadi buta huruf kembali karena ketidakadaan bahan bacaan yang memadai dalam arti yang mampu membangkitkan minat baca masyarakat, luas wilayah pelayanan dan sulitnya transportasi mengakibatkan banyak warga masyarakat yang belum terlayani ( Umberto Sihombing, 2001).
            Selain itu, banyaknya buta huruf disebabkan antara lain karena warga belajar masih malu dan belum tahu manfaat nyata mengikuti pembelajaran. Mereka pada umumnya sibuk bekerja mencari nafkah sehingga tidak memiliki waktu untuk belajar, (Mokhamat Muhsin, 2006).
            Keberadaan penduduk penyandang buta aksara terkadang menjadi baban bagi pejabat di daerah seperti kepala desa dan camat, kemungkinan karena malu kalau wilayahnya di ketahui, banyak penyandang buta aksara. Masih banyak pejabat yang enggan memberikan ijin dan akses pendataan sehingga data penduduk buta aksara dinyatakan nihil.
            Terbatasnya jumlah modul dan bahan ajar serta kesempatan mengikuti pelatihan menyebabkan para tutor mengalami kesulitan memulai dan mengelola proses pembelajaran. Serta masyarakat yang sudah usia lanjut kadang tidak mengerti jika tutornya mengunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam proses pembelajaran. Maka dari itu, dalam karya tulis ini nantinya akan dibahas mengenai pentingnya penggunaan bahasa daerah sebagai model pembelajaran yang inovatif dan aspiratif agar masyarakat bisa lebih mudah memahami suatu materi pembelajaran yang disampaikan oleh tutor. Tak hanya itu, dalam karya tulis ini nantinya juga akan dibahas tentang hal-hal yang dapat menghambat kinerja program keaksaraan fungsional dan cara mengatasinya serta peran pentingnya mahasiswa dalam memberantas buta aksara.


C. Kajian Pustaka
1.   Cara Kreatif dengan Penggunaan Bahasa Daerah sebagai Model Pembelajaran Keaksaraan Fungsional
            Dalam memberantas buta aksara, peran penggunaan bahasa daerah juga sangat penting dalam proses pembelajaran, karena bahasa daerah adalah bahasa ibu, bahasa yang pertama dipelajari di lingkungan keluarga, bahasa daerah memainkan peran penting dalam proses pendidikan anak bangsa. Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pembelajaran aksara untuk penyandang buta aksara. Selain itu, tutor juga harus memperhatikan konteks lokal yakni pembelajaran berdasarkan minat, kebutuhan, pengalaman dan permasalahan lokal, karena warga belajar umumnya tinggal di pedesaan yang telah usia lanjut tidak mengerti jika penyampaian materi oleh tuturnya menggunakan bahasa Indonesia.
            Model pendekatan dengan bahasa ibu atau bahasa daerah dalam pembelajaran diakui sangat efektif dalam mempercepat pemahaman dan kemampuan warga belajar dalam menulis kalimat sederhana, membaca dan menghitung.
            Sebagai contoh, saat memecahkan soal hitungan tutor  menggunakan cerita yang akrab dengan kehidupan sehari-hari dengan pengantar bahasa jawa seperti: ibu membeli telur 5 butir, pecah satu sehingga sisanya berapa. Di papan tulis tutor akan meminta warga belajar menulis dalam bentuk bilangan dan hurufnya. Pemahaman para tutor tentang karakteristik warga belajar sangat membantu.
            Contoh lain: misalnya tutor menyebutkan kata T-E-L-U-R, kadang warga belajar tidak mengetahui apa itu telur dan tentunya sulit menghafal kata itu, sehingga tutor menggunakan bahasa daerah yaitu,       T-I-G-A-N, kata “tigan” adalah kata dari bahasa jawa yang kebanyakan warga belajar bisa paham dan mengerti maksud yang disampaikan oleh tutor. Dengan penggunaan bahasa daerah seperti yang dicontohkan diatas, diharapkan dalam proses belajar mengajar bisa lebih berjalan lancar dengan resiko tentang pemahaman dalam tutor menyampaikan materi lebih bisa sedikit dikurangi.
            Tanpa adanya penggunaan bahasa daerah dalam proses pembelajaran, mungkin proses belajar mengajar kedalam program keaksaraan fungsional tidak akan berjalan lancar , karena untuk melaksanakan suatu program yang berbasis masyarakat seperti keaksaraan fungsional, haruslah melihat terlebih dahulu kondisi dan kebutuhan warga belajarnya. Karena, jika pemerintah maupun tutor kurang memahami kondisi dan kebutuhan warga belajarnya, maka suatu program apapun itu wujudnya pasti tidak akan bisa berhasil dengan baik dan jika berhasil, hasilnya tidak akan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pemerintah sebagai pelaksana program.
2. Kejadian- kejadian yang Menghambat Kinerja Program Keaksaraan Fungsional ( Umberto Sihombing, 2001)
a. Kesalahan recruiting warga belajar
sebagian warga belajar program keaksaraan fungsional tentu bukan berasal dari buta huruf murni, kejadian ini mengakibatkan disamping sulit mengetahui peningkatan hasil belajar akibat dari proses belajar, juga buta huruf yang ada penurunannya cukup merisaukan. Sedangkan Pendidikan Luar Sekolah sendiri belum memiliki data yang akurat tentang penduduk buta huruf di setiap wilayah kecamatan yang merupakan wilayah kerja seorang PLS.
            cara yang paling efektif untuk menangani hal tersebut adalah bekerja sama dengan RT, ataupun perangkat desa lain agar mereka mendata siapa saja yang memang murni buta huruf serta sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan, terlebih dahulu diadakan pretest agar tutor bisa lebih meyakini bahwa calon warga belajar tersebut memang murni buta aksara.
b. Proses/ program pembelajarn belum menggunakan pola interaktif
program belajar atau proses pembelajaran dalam program keaksaraan fungsional belum merupakan proses interaktif antara warga belajar dengan tutor. Tak jarang terjadi tutor “mengajar” dalam arti menggurui warga belajar tentu mempertimbangkan bahwa warga belajar dewasa sarat dengan pengalaman dan ilmu kehidupan yang tentu tidak dimiliki tutor yang lebih muda. Baik itu pengalaman dalam bekerja ataupun yang lain.
            Sudah lama orang menyadari bahwa mengajar membaca huruf saja tidak menarik. Seperti pernyataan Atkin (2010) menyatakan bahwa  
The role of functional literacy, linked to employment, leads to a narrow view of rural learners' need both economically and socially (Peran keaksaraan fungsional, terkait dengan pekerjaan, mengarah pada pandangan sempit peserta didik pedesaan kebutuhan baik secara ekonomi dan sosial). Karena itu, dicari upaya yang sekiranya akan membuat orang tertarik untuk belajar dalam program keaksaraan fungsional adalah dengan memadukan keaksaraan dengan pekerjaan, misalnya dengan pertanian, industri, pertukangan, dan kerajian.
            Saleh Marzuki (2010) menyatakan bahwa keberhasilan akan dicapai apabila kita mengajarkan sesuatu yang terkait dengan kecakapan kelompok yang sudah setengah terampil dalam pekerjaan yang bermaksud meneruskan pekerjaan dibidang dan telah membuatnya lebih produktif. Keterpaduan tidak akan dapat dicapai apabila pekerjaan kelompok yang akan menjadi sasaran didik heterogen.
            Yang dimaksud dengan keterpaduan antara pekerjaan dan keaksaraan adalah suatu kegiatan yang mengajarkan unsur-unsur teknis dengan keaksaraan secara simultan. Contoh, seorang buruh pabrik tekstil yang buta aksara selalu bekerja dengan tangannya mencampur warna atau menyiapkan zat-zat pewarna. Dia akan mudah diajari tentang prinsip-prinsip, aturan-aturan, cara-cara mengatur komposisi warna, mengatur, menakar, mengaduk dan mengaplikasikannya. Beberapa kata atau frasa yang menunjukkan hubungan antara unsur-unsur yang digunakan dalam mewarnai akan mudah diajarkan. Begitu pula bagi seorang petani, banyak prinsip-prinsip yang terlibat dalam pekerjaan sebagai petani. Salah satu prinsip ilmiah yang bisa dikerjakan misalnya adalah ketika dia mengukur luas tanahnya, yang secara pragmatis dikerjakannya. Kegiatan seperti menanam, memupuk, memanen, menyimpan dan memasarkan hasil itu juga mempergunakan prinsip-prinsip ilmiah.
c.  Pentahapan program yang tidak jelas
dalam program belajar keaksaraan fungsional, dikenal 3 tahap penyelenggaraan program, yakni: tahap pemberantasan, tahap pembinaan, dan pelestarian. Tetapi permasalahan yang terjadi adalah sampai saat ini konsep tahapan ini tidak tertulis secara jelas, sehingga tidak dapat diketahui secara pasti apa yang dapat diketahui secara pasti apa yang menjadi kriteria jika suatu kelompok belajar dapat dikatakan termasuk dalam salah satu dari ketiga tahapan belajar tersebut.
            Solusinya adalah dimasa mendatang sangat perlu diterbitkan atau paling tidak ada konsep tertulis yang membedakan antara ketiga tahap tersebut, selain faktor waktu. Karena mungkin saja satu kelompok belajar telah lebih dari 6 bulan, tetapi belum dapat dikatakan naik ke tahap berikutnya akibat kemampuan standard yang dimiliki pada tahap tertentu belum tercapai.
3. Peran Mahasiswa dalam Memberantas Buta Aksara
Upaya dalam memberantas buta aksara tak hanya dilakukan oleh Departemen Pendidikan saja, tetapi mahasiswa pun ikut berkontribusi dalam pemberantasan buta aksara. Berdasarkan Inpres No.5 tahun 2006 yang dituangkan dalam jurnal aksara, menyatakan bahwa memang kita terus menggalang kerjasama dengan berbagai lembaga stakeholder untuk membantu pemberantasan buta aksara.
            Kehadiran para mahasiswa melalui institusi yang bergerak dalam pendidikan luar sekolah, dengan semangat dan idealisme mudanya menjadi penyegar dalam dunia pendidikan keaksaraan. Berdasarkan Inpres No. 5 tahun 2006 yang di tuangkan dalam jurnal aksara juga menyebutkan bahwa kalangan akademisi ini memang layak dibidik menjadi mitra untuk mengurangi penduduk buta aksara di Indonesia. Apalagi, selain perguruan tinggi yang notabene bergelut di dunia pendidikan, kehadiran mereka juga dapat memberi sumbangsih yang cukup berarti dengan berbagai pendekatan dan inovasi pemberantasan yang mereka lakukan.
            Kontribusi yang mereka berikan sebagai wujud pengabdian masyarakat memang sangat membantu Departemen Pendidikan karena hanya mahasiswa lah yang bisa memberikan metode, dan cara-cara inovatif lewat pemikiran-pemikiran yang cerdas, sehingga warga belajar yang buta aksara di Indonesia bisa sedikit berkurang. Menurut Pahala Simanjuntak (2008) dalam jurnal aksara menyatakan bahwa “presentasi yang dilakukan perguruan tinggi itu menunjukkan performa keseriusan mereka dalam pemberantasan buta aksara yang menggembirakan untuk membantu kita. Meskipun bantuan dari kita jumlahnya kecil dibanding bantuan dari Dirjen Dikti atau yang lain”. Dari pernyataan tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa kini bukanlah sebagai kepompong belaka yang siap menjadi kupu-kupu, tetapi mahasiswa adalah intelektual (bermodal dan berpotensi) serta bibit perubahan yang diharapkan oleh banyak orang untuk bisa merubah masyarakat yang hidup dalam keterpurukan untuk bangkit dan menjadi masyarakat yang memiliki kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya.
            Menurut Pahala Simanjuntak (2008) dalam jurnal aksara juga menyatakan bahwa, “Disamping itu mereka juga diharapkan dapat memfasilitasi penyelenggaraan dan pelaksanaan program pemberantasan buta aksara (PBA) sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik masyarakat setempat”. Maka, peran peran mahasiswa sangatlah dibutuhkan sekali dalam program keaksaraan fungsional ini dan mahasiswa pun tentunya bisa mengambil manfaat untuk sekedar mencari pengalaman yang banyak diperoleh ketika berada di masyarakat.
D.    Kesimpulan
Dalam program pemerintah tentang pemberantasan buta aksara, ternyata penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar sangatlah penting sekali di gunakan untuk meningkatkan pemahaman materi yang disampaikan oleh tutor, karena ternyata kebanyakan warga belajar yang telah berusia lanjut banyak yang tidak paham akan penggunaan bahasa Indonesia. Serta, walaupun banyak sekali kendala-kendala yang mungkin dihadapi oleh pemerintah bisa sedikit diatasi oleh peran mahasiswa yang ikut berupaya mensukseskan program dari pemerintah tentang pemberantasan buta aksara dengan pemikiran-pemikiran yang kreatif dan inovatif mahasiswa sebagai intelektual muda yang bisa diharapkan agar buta aksara di Indonesia ini bisa berkurang.
E. Saran-saran
a. Pemerintah harus lebih tegas dalam merancang sebuah program agar pada akhirnya suatu program bisa berjalan dengan baik.
b. Pemerintah harus bekerjasama dengan pihak lain. Agar angka buta aksara di Indonesia bisa berkurang.
c. Sebaiknya pemerintah membentuk sebuah badan khusus untuk menangani masalah buta aksara.


F. Daftar Pustaka
Atkin,Chris.2010. A Decade of Rural Research: What have We Learnt about Adult Language, Literacy and Numeracy? dalam International Education Studies,3,4,http://search.proquest.com/docview/821695810?accountid=31324.
Gebrakan Baru Perguruan Tinggi Berantas Buta Aksara.(2008). Yogyakarta: Aksara.
Marzuki, Saleh.2001. Pendidikan Nonformal. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Muhsin, Mokhamat.2006. “Pembelajaran Keaksaraan Fungsional dan Kecakapan Hidup Wrga Belajar”. Jurnal Ilmiah Visi PTK-PNF, 1,1, hal 37-41.
Sihombing, Umberto.2001. Masalah, Tantangan dan Peluang. Jakarta: CV Wirakarsa.